Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI GARUT
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
2/Pid.Pra/2019/PN Grt AUN SUWARNA BIN ENAN Kepala Kepolisian Resor Garut cq.Kepala Kepolisian Sektor Tarogong Kaler Minutasi
Tanggal Pendaftaran Senin, 23 Des. 2019
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penahanan
Nomor Perkara 2/Pid.Pra/2019/PN Grt
Tanggal Surat Senin, 23 Des. 2019
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1AUN SUWARNA BIN ENAN
Termohon
NoNama
1Kepala Kepolisian Resor Garut cq.Kepala Kepolisian Sektor Tarogong Kaler
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Anggota dari:

 

KANTOR ADVOKAT

ASEP SAEFUL HAYAT, S.H. DAN REKAN

Jl. Adung No. 68 /013 RT. 01 RW. 04 Desa Tarogong

Kecamatan Tarogong Kidul Kabupaten Garut, 44151 Jawa Barat

email: adv.saefulhayat@gmail.com

 

Perihal

:

Permohonan Praperadilan

Kepada

Yang Mulia Ketua Pengadilan Negeri Garut

di –

Jl. Merdeka No. 123

GARUT

Dengan hormat,

Yang bertanda tangan di bawah ini, ASEP SAEFUL HAYAT, S.H., M. RAHMAD, S.H., dan SAPRIL LILIADI, S.H., Para Advokat, berkantor di Jl. Adung No. 68/013 Desa Tarogong Kecamatan Tarogong Kabupaten Garut, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama, serta mewakili kepentingan hukum Pemberi Kuasa yaitu:

N a m a

:

AUN SUWARNA bin ENAN;

Umur

:

51 tahun;

Jenis Kelamin

:

Laki-laki;

Agama

:

Islam;

Pekerjaan

:

Buruh;

Kebangsaan

:

Indonesia;

Tempat Tinggal

:

Kampung Babakan Jambe RT. 003 RW. 003 Desa/Kelurahan Pasawahan Kecamatan Tarogong Kaler Kabupaten Garut;

Berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 20 Desember 2019, untuk selanjutnya disebut Pemohon;

Dengan ini hendak mengajukan gugatan dan/atau Perohonan Praperadilan  terhadap:

Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Cq. Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat, Cq. Kepala Kepolisian Resort Garut, Cq. Kepala Kepolisian Sektor Tarogong Kaler, beralamat di Jalan Ranca Bango No. 08 Tarogong Kaler, Kabupaten Garut, selanjutnya disebut Termohon;

Bahwa, Permohonan Praperadilan ini diajukan oleh Pemohon terhadap Termohon dengan alasan dan dasar hukum sebagai berikut:

KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN NEGERI GARUT

Bahwa, Pasal 77 KUHAP menyatakan: Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
Bahwa, Pasal 78 KUHAP menyatakan: Yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 adalah praperadilan;
Bahwa, berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 disebutkan dengan jelas Negara Indonesia adalah Negara Hukum dan selanjutnya berdasarkan Pasal 28 D UUD 1945, ditegaskan bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Ketentuan kedua pasal UUD ini bermakna bahwa hak asasi manusia untuk mempertahankan

 

harkat, martabat dan kedudukannya sebagai manusia dihadapan hukum melalui proses yang berkeadilan dan bermartabat;

Bahwa, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 65/PUU-IX/2011 dinyatakan pada hakekatnya Praperadilan adalah untuk menjamin hak-hak warga Negara dari kesewenang-wenangan yang mungkin dan dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam kontek penegakan hukum;
Bahwa, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 dimana berdasarkan putusan tersebut, maka objek Praperadilan telah diperluas dan termasuk di dalamnya adalah sah atau tidaknya Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan yang dilakukan oleh Penyidik, penyidik PNS ataupun Penuntut Umum;
Bahwa, dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), ditegaskan “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangka”. Selanjutnya dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d KUHAP, oleh karena kewajibannya penyidik berwenang untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Dalam hal ini penyidik berwenang untuk melakukan suatu upaya paksa, sehingga pengujian keabsahan proses penyelidikan dan penyidikan melalui Praperadilan sudah seharusnya dilakukan karena dalam proses tersebut segala upaya paksa dapat dilakukan terhadap seseorang dengan alasan untuk kepentingan penegakkan hukum;
Bahwa dengan mengacu pada ketentuan-ketentuan tersebut, maka Pengadilan Negeri Garut berwenang untuk mengadili dan memutus permohonan ini;

KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON

Bahwa, Pasal 79 KUHAP menyatakan: “Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya”;
Bahwa, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 objek Praperadilan telah diperluas dan termasuk di dalamnya adalah sah atau tidaknya Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan yang dilakukan oleh Penyidik, ataupun Penuntut Umum;
Bahwa, Pemohon dalam permohonan ini adalah warga negara yang telah ditetapkan sebagai Tersangka oleh Termohon atas dugaan tindak pidana Kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama dan atau Penganiayaan yang terjadi pada hari Minggu tanggal 17 Nopember 2019 sekira pukul 17.00 Wib di sekitar Gapura Warung Tanjung Kp. Warung Tanjung RT.01 RW. 14 Desa Pesawahan Kec. Tarogong Kaler terhadap Korban atas nama Sdr. NUNU NUGRAHA Bin AMAD, atas nama pelapor Sdr. AMAD Bin HARUN;

ALASAN-ALASAN PERMOHONAN

Bahwa, pada hari Minggu tanggal 17 Nopember 2019, sekira pukul 15.00 WIB, saat Pemohon sedang bekerja di kandang domba yang tidak jauh dari rumah, diberitahu oleh keluarga bahwa sdr. ROBI RAMDANI yang merupakan anak Pemohon sedang mencari Pemohon karena sdr. ROBI RAMDANI telah dipukuli oleh sdr. NUNU dan sdr. DADAN, sedangkan Pemohon tidak tahu apa penyebabnya. Karena itu, pemohon segera mencari sdr. ROBI RAMDANI;
Bahwa, sekira pukul 17.00 WIB, Pemohon melihat sdr. ROBI RAMDANI sedang berada di Gapura Warung Tanjung, Kp. Warung Tanjung RT.01 RW. 14 Desa Pasawahan Kec. Tarogong Kaler didatangi oleh sdr. NUNU yang mengendarai sepeda motor sambil membonceng sdr. DADAN. Saat Pemohon mendekati sdr. ROBI RAMDANI terlihat sdr. DADAN sudah mengeluarkan golok sehingga Pemohon berteriak dan segera mengejar sdr. DADAN, namun sdr. DADAN segera lari meninggalkan sdr. NUNU;
Bahwa, usaha Pemohon mengejar sdr. DADAN tidak berhasil, maka Pemohon segera kembali lagi ke Gapura dan terlihat sdr. ROBI RAMDANI sedang memegang golok sedangkan sdr. NUNU sudah tidak terlihat lagi. Lalu Pemohon segera mengambil golok yang dipakai sdr. ROBI RAMDANI pada saat di tempat kejadian, namun selanjutnya golok tersebut ada yang mengambil, dan pemohon tidak mengetahui orangnya karena situasi sudah ramai dan panik. Setelah kejadian tersebut, Pemohon mengetahui sdr. ROBI RAMDANI pergi ke Kp. Cibuyutan Desa Sukaraja Kec. Banyuresmi untuk menemui neneknya, namun ketika diajak pulang oleh Pemohon ternyata sdr. ROBI RAMDANI malah pergi entah kemana?;
Bahwa, sekira pukul 21.00 WIB, Pemohon mendatangi rumah pak H. ENDANG S selaku Ketua RW.03 (selanjutnya disebut pak RW) untuk menyampaikan kejadian perkelahian di Gapura sore itu, yang dialami oleh sdr. ROBI RAMDANI. Karena itu sekira pukul 22.00 WIB, Pemohon bersama pak RW mendatangi Kantor Termohon. Sewaktu Pemohon bersama pak RW tiba di kantor Termohon, selanjutnya Pemohon dimintai keterangan secara lisan oleh Termohon tanpa bersama pak RW dan pada pokoknya Pemohon ingin menyampaikan terjadinya perkelahian yang dialami oleh sdr. ROBI RAMDANI selaku anak pemohon namun Pemohon tidak diperbolehkan pulang oleh Termohon sebagaimana telah diketahui oleh pak RW saat itu;
Bahwa, pada tanggal 18 Nopember 2019, Pemohon yang masih berada di kantor Termohon, Pemohon telah menerima Surat Perintah Penangkapan Nomor: SP.Kap/18/XI/2019/Reskrim tanggal 18 Nopember 2019. Sekira pukul 09.44 WIB, Pemohon kembali diperiksa oleh Termohon dan dipaksa mengakui telah melakukan penganiayaan terhadap sdr. NUNU dan sdr. DADAN sebagaimana tercatat dalam Berita Acara Pemeriksaan tanggal 18 Nopember 2019, sedangkan pada waktu pemeriksaan itu pemohon tidak berdaya dan tidak ada yang mendampingi dalam pemeriksaan tersebut;
Bahwa, dalam Surat Perintah Penangkapan Nomor: SP.Kap/18/XI/2019/Reskrim yang diterbitkan oleh Termohon pada tanggal 18 Nopember 2019, tercatat yang menjadi Dasar pada Surat a qou adalah:
Pasal 5 ayat (1) huruf b angka 1, Pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 11, Pasal 16 ayat (2), Pasal 17, Pasal 18 ayat (1), Pasal 111 ayat (1) KUHAP;
Pasal 16 ayat (1) huruf a, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002;
Laporan Polisi Nomor : LP/B-120/XI/2019/Sektor Tarogong Kaler, tanggal 18 Nopember 2019, atas nama pelapor Sdr. AMAD Bin Harun;

Dengan demikian, tindakan Termohon yang menangkap Pemohon sebagaimana dalam Surat Perintah Penangkapan menunjukkan tidak adanya Surat Perintah Penyidikan;

Bahwa, pada tanggal 19 Nopember 2019, Pemohon telah ditahan oleh Termohon untuk selama 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal 19 Nopember 2019 s/d 08 Desember 2019 berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor: SP.Han/18/XI/2019/Reskrim, tanggal 19 Nopember 2019, dan Surat Nomor: B/18.a//XI/2019/Reskrim, tanggal 19 Nopember 2019. Adapun yang menjadi dasar pada Surat a qou adalah:

Pasal 17 ayat (1) huruf d, Pasal 11, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 dan Pasal 24 ayat (1) KUHAP;
Pasal 16 ayat (1) huruf a, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002;
Laporan Polisi Nomor : LP/B-120/XI/2019/Sektor Tarogong Kaler, tanggal 18 Nopember 2019, atas nama pelapor Sdr. AMAD Bin Harun;

Dalam Surat Perintah Penahanan yang diserahkan oleh Termohon kepada Pemohon, kembali menunjukkan bahwa Termohon bertindak berdasarkan tidak adanya Surat Perintah Penyidikan;

Bahwa, tanggal 25 Nopember 2019, Termohon telah menerbitkan Surat Nomor: B/04/XI/2019/Reskrim, tentang Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Garut. Adapun yang menjadi Dasar Penyidik sebagaimana tercatat dalam Surat a quo adalah sebagai berikut:

Laporan Polisi Nomor: LP/B-120/XI/2019/Sektor Tarogong Kaler, tanggal 18 Nopember 2019 tentang perkara tindak pidana Kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama dan atau penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 KUHP Subs Pasal 351 KUHP;
Pasal 109 ayat (1) KUHAP;
Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002;

Merujuk surat a quo, menunjukkan bahwa Termohon dalam melaksanakan rangkaian tindakan penyidikan tidak berdasarkan adanya Surat Perintah Penyidikan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait;

Bahwa, guna mendapakan barang bukti yang menunjukkan Pemohon telah melakukan tindak pidana sebagaimana disangkakan oleh Termohon, maka pada tanggal 26 Nopember 2019 Termohon telah melakukan penggeledahan pada kandang Domba tempat Pemohon bekerja, dan Termohon telah melakukan tindakan penyitaan atas barang yang ditemukan pada tempat tersebut. Namun legalitas tindakan penggeledahan dan tindakan penyitaan yang dilakukan oleh Termohon menjadi bahan pertanyaan bagi Pemohon karena:

Mengapa Termohon tidak ada memberikan surat tanda penerimaan atas penyitaan barang-barang tersebut kepada Pemohon atau keluarga Pemohon?
Mengapa pula Termohon dalam melakukan tindakan penggeledahan dan tindakan penyitaan tidak ada menunjukkan surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri Garut?

Bahwa, pada tanggal 27 Nopember 2019, Termohon telah menerbitkan Surat Nomor: B/18/XI/2019/Reskrim, tentang Penitipan 1 (satu) orang tahanan kepada Kepala Satuan Tahanan dan Barang Bukti Polres Garut. Adapun yang menjadi Rujukan Penyidik sebagaimana tercatat dalam Surat a quo adalah sebagai berikut:

Laporan Polisi Nomor: LP/B-120/XI/2019/Sektor Tarogong Kaler, tanggal 18 Nopember 2019;
Surat Perintah Penahanan Nomor: SP.Han/18/XI/2019/Reskrim, tanggal 19 Nopember 2019;

Bahwa, dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), ditegaskan di dalam ketentuan materi pasal atau ayat tercermin perlindungan terhadap hak asasi manusia serta kewajiban warganegara maupun asas-asas yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia. Adapun salah satu asas tersebut menyebutkan “Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang”. Karenanya perwujudan asas tersebut dalam tindakan Penyitaan telah diatur dalam Pasal 42 ayat (1) KUHAP, menyebutkan “Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang dapat disita, menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan”. Dengan demikian, tindakan Penggeledahan kandang domba dan tindakan Penyitaan atas barang dari kandang domba yang dilakukan oleh Termohon tanpa memberikan tanda penerimaan barang kepada keluarga Pemohon adalah tindakan sewenang-wenang dan bertentangan dengan hukum;
Bahwa, Termohon dalam menetapkan Pemohon selaku Tersangka pada tanggal 18 Nopember 2019 berdasarkan bukti permulaan yang cukup? sebagaimana tercatat dalam Pertimbangan Surat Perintah Penangkapan a quo. Sedangkan dalam KUHAP tidak ditemukan definisi dari Bukti Permulaan namun telah diatur dalam Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan, Pasal 1 angka 21 telah menyebutkan “Bukti permulaan adalah alat bukti berupa Laporan Polisi dan 1 (satu) alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukan penangkapan”;
Bahwa, merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tentang Bukti Permulaan sebagaimana tercatat dalam Frasa “ Bukti Permulaan” dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP, Pasal 17 KUHAP dan Pasal 21 KUHAP telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP”. Konsekuensinya, pengertian dan atau Penetapan Tersangka tidak lagi merujuk pada KUHAP maupun Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 yang telah dinyatakan tidak berlaku (sejak tanggal 03 Oktober 2019) melainkan merujuk pada Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019, yang menyebutkan:

Pasal 1 angka 9

:

Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan 2 (dua) alat bukti yang sah didukung barang bukti patut diduga sebagai pelaku tindak pidana;

Pasal 25

:

Penetapan tersangka berdasarkan paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang didukung barang bukti;
Penetapan tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan melalui mekanisme gelar perkara, kecuali tertangkap tangan;

Pasal 1 angka 18

:

Tertangkap Tangan adalah tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat setelah tindak pidana itu dilakukan atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya diketemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu;

Bahwa, merujuk pada Pasal 1 angka 18 a quo dengan keberadaan Pemohon yang tetap di kantor Termohon sejak tanggal 17 Nopember 2019, menunjukkan Pemohon tidak termasuk dalam keadaan tertangkap tangan. Namun faktanya, Pemohon ditetapkan menjadi tersangka oleh Termohon pada tanggal 18 Nopember 2019 sebagaimana tercatat dalam Surat Perintah Penangkapan Nomor: SP.Kap/18/XI/2019/Reskrim, yang diterbitkan oleh Termohon pada tanggal 18 Nopember 2019 berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP/B-120/XI/2019/Sektor Tarogong Kaler, tanggal 18 Nopember 2019, atas nama pelapor Sdr. AMAD Bin HARUN sehubungan penganiayaan yang dialami oleh sdr. NUNU selaku korban;

Bahwa, Demi hukum, seharusnya Termohon melakukan kegiatan penyelidikan terlebih dahulu guna memenuhi syarat 2 (dua) alat bukti yang didukung barang bukti sebagaimana ditentukan dalam Pasal 25 ayat (1) Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019, sehingga penetapan tersangka terhadap diri Pemohon yang ditetapkan oleh Termohon berdasarkan mekanisme gelar perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (2) Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019.

Dengan demikian, penetapan tersangka Pemohon pada tanggal 18 Nopember 2019 oleh Termohon pada hari yang sama dengan diterimanya Laporan Polisi atas nama Pelapor Sdr. AMAD Bin HARUN pada tanggal 18 Nopember 2019 ternyata tanpa adanya barang bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), hal mana Termohon melakukan tindakan penyitaan atas barang milik Pemohon pada tanggal 26 Nopember 2019 adalah tidak sah dan bertentangan hukum sehingga tidak menutup kemungkinan Termohon salah dalam menetapkan Tersangka maupun kemungkinan adanya pertentangan fakta hukum antara saksi pelapor dan atau saksi korban dengan keterangan Tersangka maupun barang bukti itu sendiri;

Bahwa, tindakan Termohon dalam melakukan upaya paksa terkesan terburu-buru dan tidak memperhatikan aturan hukum terkait perlindungan terhadap hak asasi manusia, hal mana Termohon seharusnya melakukan tindakan pemeriksaan dengan teliti untuk mencari keterangan, mengumpulkan bukti, menjaga keutuhan TKP dan memeriksa semua objek yang relevan dengan tujuan pemeriksaan pengolahan di Tempat Kejadian Perkara (TKP) sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2008. Faktanya, tindakan Termohon dalam melakukan penetapan tersangka pada tanggal 18 Nopember 2019 yang bersamaan dengan tanggal diterima Laporan Polisi Nomor: LP/B-120/XI/2019/Sektor Tarogong Kaler, tanggal 18 Nopember 2019, atas nama pelapor Sdr. AMAD Bin HARUN, jelas menunjukkan tanpa melakukan pemeriksaan di TKP sehingga tidak menutup kemungkinan terdapat kekeliruan atas tindakan Termohon maupun adanya pertentangan fakta hukum antara saksi pelapor dan atau saksi korban dengan keterangan Tersangka maupun barang bukti itu sendiri. Adapun tindakan pemeriksaan Termohon di TKP sebagaimana diatur dalam Pasal 30 Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2008 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, telah mengatur tentang kewajiban Termohon. Lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut:

 

Pasal 30

:

Dalam melakukan tindakan pemeriksaan TKP, petugas wajib:

a.  Melaksanakan tindakan pemeriksaan TKP sesuai peraturan perundang- undangan;

b.  Melakukan pemeriksaan dengan teliti untuk mencari keterangan, mengumpulkan bukti, menjaga keutuhan TKP dan memeriksa semua objek yang relevan dengan tujuan pemeriksaan pengolahan TKP;

c.   Menutup TKP dan melarang orang lain yang tidak berkepentingan memasuki TKP, dengan cara yang wajar, tegas tetapi sopan;

d.  Mencari informasi yang penting untuk pengungkapan perkara kepada orang yang ada di TKP dengan sopan;

e.  Melakukan tindakan di TKP hanya untuk kepentingan tugas yang di dalam batas kewenangannya;

f.   memperhatikan dan menghargai hak-hak orang untuk memberikan keterangan secara bebas;

g.  Melaksanakan pemeriksaan dalam waktu yang secukupnya dan membuka kembali TKP setelah kepentingan pengolahan TKP selesai;

h.  Mencatat semua keterangan dan informasi yang diperoleh di TKP dan membuat berita acara pemeriksaan TKP; dan

i.    Membubuhkan tanda tangan pemeriksa, terperiksa/saksi dan/atau orang yang menyaksikan pemeriksaan TKP.

Bahwa, memperhatikan ketentuan materi pasal atau ayat yang menjadi dasar hukum atas upaya paksa (tindakan penangkapan, tindakan penahanan, tindakan penggeledahan, tindakan penyitaan dan penetapan tersangka) yang dilakukan Termohon ternyata bertentangan dengan peraturan-peraturan terkait. Hal tersebut merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menyebutkan bahwa “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangka”. Sedangkan Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana telah mengatur Kegiatan Penyidikan yang seharusnya dilaksanakan oleh Termohon. Lebih jelas diuraikan sebagai berikut:

 Pasal 10

:

(1)    Kegiatan penyidikan tindak pidana terdiri atas:

a.  penyelidikan;

b.  dimulainya penyidikan;

c.   upaya paksa;

d.  pemeriksaan;

e.  penetapan tersangka;

f.   pemberkasan;

g.  penyerahan berkas perkara;

h.  penyerahan tersangka dan barang bukti; dan

i.    penghentian penyidikan.

 

 

 

Pasal 13

:

(1)    Penyidikan dilakukan dengan dasar:

Laporan Polisi ; dan
Surat Perintah Penyidikan.

(2)    Surat Perintah Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, paling sedikit memuat:

Dasar Penyidikan;
Identitas tim penyidik;
Perkara yang dilakukan penyidikan;
Waktu dimulainya penyidikan; dan
Identitas penyidik selaku pejabat pemberi perintah.

(3)    Setelah Surat Perintah Penyidikan diterbitkan, dibuat SPDP.

Pasal 14

:

(1)    SPDP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dikirimkan kepada penuntut umum, pelapor/korban, dan terlapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan.

(2)    SPDP paling sedikit memuat:

Dasar penyidikan berupa laporan polisi dan Surat Perintah Penyidikan;
Waktu dimulainya penyidikan;
Jenis perkara, pasal yang dipersangkakan dan uraian singkat tindak pidana yang disidik;
Identitas Tersangka;
Identitas pekabat yang menandatangani SPDP.

Pasal 16

:

Upaya paksa meliputi:

pemanggilan;
penangkapan;
penahanan;
penggeledahan;
penyitaan; dan
pemeriksaan surat.

Upaya paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat didahului dengan penyelidikan.

Pasal 17

:

Pemanggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a, dilakukan secara tertulis dengan menerbitkan surat panggilan atas dasar Laporan Polisi dan Surat Perintah Penyidikan.
Pemanggilan terhadap Tersangka/Saksi/Ahli dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 18

:

Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b, dapat dilakukan oleh penyidik atau penyidik pembantu terhadap tersangka atau oleh penyelidik atas perintah penyidik.

Pasal 20

:

Penggeledahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf d, dilakukan oleh Penyidik/Penyidik Pembantu dengan dilengkapi dengan:

Surat perintah penggeledahan; dan
Surat izin penggeledahan dari pengadilan, kecuali dalam keadaan sangat perlu dan mendesak.

Pasal 21

:

Penggeledahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf d, dilakukan oleh Penyidik/Penyidik Pembantu terhadap benda/barang yang berkaitan dengan perkara yang ditangani untuk kepentingan penyidikan.
Penyidik/Penyidik Pembantu yang melakukan penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilengkapi dengan:

a.      Surat perintah penyitaan; dan

b.     Surat izin penyitaan dari ketua pengadilan, kecuali dalam tertangkap tangan.

Dalam hal penyitaan tidak sah berdasarkan putusan praperadilan segera dikembalikan barang yang disita sejak dibacakan putusan atau diterima salinan putusan;
Penyitaan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

Bahwa, tindakan Termohon seharusnya selain memperhatikan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 dan Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana juga harus memperhatikan Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2008 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sehingga rangkaian penyidikan Termohon termasuk tindakan penggeledahan dan tindakan penyitaan harus dilengkapi dengan administrasi penyidikan. Untuk lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut:

Pasal 33

:

(1)    Dalam melakukan tindakan penggeledahan tempat /rumah, petugas wajib:

a.  melengkapi administrasi penyidikan;

b.  memberitahukan ketua lingkungan setempat tentang kepentingan dan sasaran penggeledahan;

c.   memberitahukan penghuni tentang kepentingan dan sasaran penggeledahan;

d.  menunjukkan surat perintah tugas dan/atau kartu identitas petugas;

e.  melakukan penggeledahan untuk mendapatkan barang atau orang dengan cara yang teliti, sopan, etis dan simpatik dan harus didampingi oleh penghuni;

f.   melakukan tindakan penggeledahan sesuai dengan teknik dan taktik pemeriksaan untuk kepentingan tugas sesuai dengan batas kewenangannya.

g.  menerapkan taktik penggeledahan untuk mendapatkan hasil seoptimal mungkin, dengan cara yang sedikit mungkin menimbulkan kerugian atau gangguan terhadap pihak yang digeledah atau pihak lain;

h.  dalam hal petugas mendapatkan benda atau orang yan dicari, tindakan untuk mengamankan barang bukti wajib disaksikan oleh pihak yang digeledah atau saksi dari ketua lingkungan;

i.    menyampaikan terima kasih atas terlaksananya penggeledahan; dan

j.   membuat berita acara penggeledahan yang ditandatangani oleh petugas, pihak yang digeledah dan para saksi.

(2)    Dalam melakukan penggeledahan tempat/rumah, petugas dilarang :

a.  tanpa dilengkapi administrasi penyidikan;

b.  tidak memberitahukan ketua lingkungan setempat tentang kepentingan dan sasaran penggeledahan;

c.   tanpa memberitahukan penghuni tentang kepentingan dan sasaran penggeledahan, tanpa alasan yang sah;

d.  melakukan penggeledahan dengan cara yang sewenang-wenang, sehingga merusakkan barang atau merugikan pihak yang digeledah;

e.  melakukan tindakan penggeledahan yang menyimpang dari kepentingan tugas yang di luar batas kewenangannya;

f.   melakukan penggeledahan dengan cara berlebihan sehingga menimbulkan kerugian atau gangguan terhadap hak-hak pihak yang digeledah;

g.  melakukan pengambilan benda tanpa disaksikan oleh pihak yang digeledah atau saksi dari ketua lingkungan;

h.  melakukan pengambilan benda yang tidak ada kaitannya dengan tindak pidana yang terjadi;

i.    bertindak arogan atau tidak menghargai harkat dan martabat orang yang digeledah;

j.   melakukan tindakan menjebak korban/tersangka untuk mendapatkan barang yang direkayasa menjadi barang bukti; dan

i.    tidak membuat berita acara penggeledahan setelah melakukan penggeledahan.

Pasal 34

:

(1)    Dalam melakukan tindakan penyitaan barang bukti, petugas wajib:

a.  melengkapi administrasi penyidikan;

b.  melakukan penyitaan hanya terhadap benda yang ada hubungannya dengan penyidikan;

c.   memberitahu tujuan penyitaan kepada pemilik;

d.  menerapkan teknik dan taktik penyitaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

e.  merawat barang bukti yang disita sesuai dengan peraturan perundang- undangan;

f.   menyimpan barang sitaan di rumah penyimpanan benda sitaan negara; dan

g.  membuat berita acara penyitaan dan menyerahkan tanda terima barang yang disita kepada yang menyerahkan barang yang disita.

(2)    Dalam melakukan penyitaan barang bukti, petugas dilarang:

a.  melakukan penyitaan tanpa dilengkapi administrasi penyidikan;

b.  tidak memberitahu tujuan penyitaan;

c.   melakukan penyitaan benda yang tidak ada hubungannya dengan penyidikan;

d.  melakukan penyitaan dengan cara yang bertentangan dengan hukum;

e.  tidak menyerahkan tanda terima barang yang disita kepada yang berhak;

f.   tidak membuat berita acara penyitaan setelah selesai melaksanakan penyitaan;

g.  menelantarkan barang bukti yang disita atau tidak melakukan perawatan barang bukti sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

h.  mengambil, memiliki, menggunakan, dan menjual barang bukti secara melawan hak.

Dengan demikian, jelas Termohon dalam melakukan tindakan penggeledahan dan tindakan penyitaan barang bukti yang tidak dilengkapi administrasi penyidikan termasuk tidak memberikan tanda terima barang yang disita kepada yang menyerahkan barang yang disita adalah tindakan yang tidak sah dan bertentangan dengan Pasal 33 huruf a dan huruf b maupun Pasal 34 huruf a dan g Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2008;

Bahwa, dengan merujuk kegiatan penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019, maka kewenangan Termohon dalam melakukan upaya paksa (tindakan Penggeledahan, tindakan penyitaan dan tindakan penangkapan) terhadap diri Pemohon maupun barang-barang yang disita adalah tidak sah karena tidak berdasarkan Surat Perintah Penyidikan sehingga bertentangan dengan Pasal 13, Pasal 20 dan Pasal 21 Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 dan juga bertentangan dengan Pasal 33 dan Pasal 34 Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2008. Selain itu, penetapan tersangka yang dibuat oleh Termohon terhadap Pemohon juga tanpa melalui mekanisme gelar perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (2) Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 adalah tidak sah dan bertentangan hukum;
Bahwa merujuk UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, tindakan Termohon selaku Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang melaksanakan fungsi pemerintahan adalah tidak sah dan bertentangan dengan hukum sehingga telah memberikan akibat hukum tidak mengikat sejak Keputusan dan/atau Tindakan tersebut ditetapkan. Lebih lengkap ketentuan dalam UU tersebut diuraikan sebagai berikut:

Pasal 70

:

Keputusan dan/atau Tindakan tidak sah apabila:

dibuat oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang tidak berwenang;
dibuat oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang melampaui kewenangannya; dan/atau
dibuat oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang bertindak sewenang-wenang.

(2)       Akibat hukum Keputusan dan/atau Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi:

a.  tidak mengikat sejak Keputusan dan/atau Tindakan tersebut ditetapkan; dan

b.  segala akibat hukum yang ditimbulkan dianggap tidak pernah ada.

 

Pasal 71

:

Keputusan dan/atau Tindakan dapat dibatalkan apabila:

terdapat kesalahan prosedur; atau
terdapat kesalahan substansi.

Akibat hukum Keputusan dan/atau Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):

a. tidak mengikat sejak saat dibatalkan atau tetap sah sampai adanya pembatalan; dan

b.  berakhir setelah ada pembatalan.

(3)       Keputusan pembatalan dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan dan/atau Atasan Pejabat dengan menetapkan dan/atau melakukan Keputusan baru dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan atau berdasarkan perintah Pengadilan.

(4)       Penetapan Keputusan baru sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi kewajiban Pejabat Pemerintahan.

Kerugian yang timbul akibat Keputusan dan/atau Tindakan yang dibatalkan menjadi tanggung jawab Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.

Bahwa, tindakan Termohon dalam melakukan upaya paksa baik tindakan penangkapan, tindakan penahanan, tindakan penggeledahan, tindakan penyitaan termasuk penetapan Tersangka terhadap Pemohon tanpa memperhatikan peraturan-peraturan sebagaimana tersebut diatas sementara tidak menutup kemungkinan terdapat kekeliruan atas tindakan Termohon tersebut berdasarkan fakta yang terungkap dalam perdamaian antara sdr. ROBI RAMDANI/diwakili keluarga dengan sdr. NUNU dan sdr. DADAN dengan disaksikan oleh pihak-pihak terkait. Selain itu, para pihak juga telah mengesampingkan perkara pidana berdasarkan kesepakatan para pihak demi memenuhi asas keadilan berdasarkan peraturan perundang-undangan atau disebut Keadilan Restorasi. Sedangkan dalam tataran yuridis penerapan Restorasi Keadilan dapat diberlakukan pada semua tindak pidana kecuali:

Tindak pidana Pembunuhan;
Tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak;
Tindak pidana narkoba;
Tindak pidana yang menimbulkan keresahan yang meluas di masyarakat, seperti penistaan agama;
Tindak pidana terhadap negara seperti korupsi, terorisme;
Tindak pidana pengulangan (recidive);

Bahwa, penerapan keadilan restorasi dalam tataran yuridis dapat ditemukan dalam ketentuan yang memberikan peluang untuk menggunakan model penyelesaian secara alternatif dalam peradilan pidana sebagaimana merujuk pada Pasal 82 KUHP yang menyebutkan dimungkinkan alasan menghapuskan penuntutan atau mengesampingkan perkara pidana oleh para pihak berdasarkan kesepakatan demi mewujudkan keadilan dan kemanfaatan bagi para pihak. Selain itu, salah satu Program Prioritas Kapolri (Program Kesembilan) yakni Penegakkan Hukum yang lebih Profesional dan Berkeadilan berdasarkan pendekatan Restorasi Keadilan bukan hal baru karena telah dipraktikkan dan sedang dikembangkan dalam penanganan/penyelesaian tindak pidana;

Bahwa penerapan Restorasi Keadilan juga telah diperkuat dengan merujuk pada Yurisprudensi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur Nomor: 46/Pid/78/UT/Wanita yang memberikan pelepasan dari tuntutan hukuman atas terjadinya perdamaian. Dalam amar putusannya dinyatakan, antara lain perbuatan tertuduh Ny. Ellya Dado terbukti dengan sah dan meyakinkan, baik tuduhan primair, subsidair, maupun subsidair lagi, tetapi perbuatan-perbuatan itu dengan penyelesaian secara damai diantara pihak-pihak, tidak merupakan suatu kejahatan ataupun pelanggaran yang dapat dihukum lagi, sehingga hakim pun melepaskan tertuduh oleh karena itu dari segala tuntutan hukum.

PERMOHONAN

Berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas, Pemohon dengan hormat memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Garut kiranya berkenan memanggil Pemohon dan Termohon, memeriksa dan mengadili perkara ini serta menjatuhkan Putusan yang amarnya sebagai berikut:

Menyatakan menerima dan mengabulkan Permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;
Menyatakan:

Laporan Polisi Nomor: LP/B-120/XI/2019/Sektor Tarogong Kalre, tanggal 18 Nopember 2019;
Surat Perintah Penangkapan Nomor: SP. Kap/18/XI/2019/Reskrim, tanggal 18 Nopember 2019;
Surat Perintah Penahanan Nomor: SP.Han/18/XI/2019/Reskrim, tanggal 19 Nopember 2019;
Surat Nomor: B/18.a//XI/2019/Reskrim, tanggal 19 Nopember 2019;
Surat Nomor: B/04/XI/2019/Reskrim, tentang Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan, tanggal 25 Nopember 2019;
Surat Nomor: B/18/XI/2019/Reskrim, tentang Penitipan 1 (satu) orang tahanan kepada Kepala Satuan Tahanan dan Barang Bukti Polres Garut, tanggal 27 Nopember 2019;

Adalah tidak sah dan batal demi hukum dengan segala akibat hukumnya;

Menyatakan segala produk hukum lanjutan Termohon adalah tidak sah dan batal demi hukum dengan segala akibat hukumnya;
Menghukum Termohon untuk segera membebaskan pemohon demi hukum;
Membebankan biaya perkara dalam Perkara Praperadilan ini kepada Negara;

Atau

Apabila Yang Mulia hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini berpendapat lain, Pemohon mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono);

 

 

 

Demikian Permohonan Praperadilan ini dibuat dan disampaikan kepada Yang Mulia Ketua Pengadilan Negeri Garut, kiranya dapat diterima dan diselesaikan secara Arif dan bijaksana.

Garut, 23 Desember 2019,

Hormat Para Kuasa Hukum Pemohon

ASEP SAEFUL HAYAT, S.H.

NIA.: 15.03474

M. RAHMAD, S.H.

NIA.: 15.10401

SAPRIL LILIADI, S.H.

NIA.: 15.20341

 

Pihak Dipublikasikan Ya