Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI GARUT
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
4/Pid.Pra/2023/PN Grt JEJEN 1.Kepolisian Sektor Limbangan
2.kepala kejaksaan negeri garut
Minutasi
Tanggal Pendaftaran Jumat, 08 Sep. 2023
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penangkapan
Nomor Perkara 4/Pid.Pra/2023/PN Grt
Tanggal Surat Jumat, 08 Sep. 2023
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1JEJEN
Termohon
NoNama
1Kepolisian Sektor Limbangan
2kepala kejaksaan negeri garut
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Bahwa Permohonan Praperadilan ini diajukan oleh Pemohon terhadap Termohon dan Turut Termohon dengan alasan-alasan dan dasar hukum sebagai berikut :

 

KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN NEGERI GARUT

Bahwa Permohonan Praperadilan Ini Diajukan Berdasarkan Ketentuan Pasal 77 dan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sebagai berikut :

 

Pasal 77 KUHAP :

Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang :

Sah tidaknya Penangkapan. Penahanan, Penghentian Penyidikan atau Penghentian Penuntutan;
Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

 

 

Pasal 79 KUHAP :

Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh Tersangka, Keluarga atau kuasanya kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannnya.

Bahwa Pasal 78 KUHAP menyatakan: Yang melaksanakan wewenang Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 adalah Praperadilan;
Bahwa berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 disebutkan dengan jelas Negara Indonesia adalah Negara Hukum dan selanjutnya berdasarkan Pasal 28 D UUD 1945, ditegaskan bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Ketentuan kedua Pasal UUD ini bermakna bahwa hak asasi manusia untuk mempertahankan harkat, martabat dan kedudukannya sebagai manusia dihadapan hukum melalui proses yang berkeadilan dan bermartabat;
Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 65/PUU-IX/2011 dinyatakan pada hakekatnya Praperadilan adalah untuk menjamin hak-hak warga negara dan kesewenang-wenangan yang mungkin dan dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam kontek penegakan hukum;
Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 dimana berdasarkan putusan tersebut, maka objek Praperadilan telah diperluas dan termasuk di dalamnya adalah sah atau tidaknya Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan yang dilakukan oleh Penyidik, Penyidik PNS, ataupun Penuntut Umum;
Bahwa dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), ditegaskan “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan Tersangka”. Selanjutnya dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d KUHAP, oleh karena kewajibannya penyidik berwenang untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Dalam hal ini penyidik berwenang untuk melakukan suatu upaya paksa, sehingga pengujian keabsahan proses penyelidikan dan penyidikan memalui Praperadilan sudah seharusnya dilakukan karena dalam proses tersebut segala upaya paksa dapat dilakukan terhadap seseorang dengan alasan untuk kepentingan penegakan hukum;

     Bahwa dengan mengacu pada ketentuan-ketentuan tersebut, maka Pengadilan Negeri Garut berwenang untuk mengadili dan memutus permohonan ini.

 

KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON

Bahwa Pasal 79 KUHAP menyatakan “Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh Tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya”.
Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2004 objek Praperadilan telah diperluas dan termasuk di dalamnya adalah sah atau tidaknya Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan yang dilakukan oleh Penyidik, ataupun Penuntut Umum;
Bahwa Pemohon dalam permohonan ini adalah warga negara yang mana Anak Pemohon telah ditetapkan sebagai Tersangka oleh Termohon atas dugaan tindak pidana Pencabulan terhadap anak dibawah umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E jo Pasal 82 ayat 1 UU RI No. 35 tahun 2014 atas perubahan UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak jo Pasal 292 KUHP yang terjadi pada hari Jumat tanggal 30 Juni 2023 sekira pukul 13,00 Wib di WC Umum di Kp. Cikelepu Limbangan Garut dengan korban atas nama Rafa Setiawan Bin Ade;

 

  ALASAN-ALASAN PERMOHONAN

Bahwa, pada hari Rabu tanggal 12 Juli 2023, sekira pukul 18.00 Wib, saat Pemohon pulang kerja mendapati anak perempuan Pemohon yang bernama Selvi Fatmah sedang menangis setelah di tanya oleh Pemohon alasan kenapa menangis anak Perempuan Pemohon mengatakan : “bahwa dia telah di bully oleh beberapa orang yang menyatakan bahwa kakaknya adalah seorang cabul terhadap korban Rafa Setiawan “, setelah mendengar penjelasan dari anak perempuan Pemohon, Pemohon langsung pergi menemui korban Rafa Setiawan dan menanyakan perihal tersebut namun pada saat itu korban Rafa Setiawan dihadapan orang tuanya menyatakan bahwa dia telah di cabuli oleh Tersangka adalah “TIDAK BENAR” dan korban Rafa Setiawan mengatakan: ”bahwa dirinya hanya di suruh oleh Tersangka (Anak Pemohon) untuk membeli rokok dengan memberikan uang sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah);

Bahwa, sekira pukul 21.00 Wib Pemohon menelepon Tersangka agar dapat pulang lebih cepat dari pekerjaannya yang pada saat itu anak Pemohon sedang berkerja sebagai Satpam di PT. Cangsin Leles Garut untuk menanyakan dan mengklarifikasi permasalahan yang sedang terjadi;

Bahwa, sekira pukul 23.00 Wib anak Pemohon datang ke rumah serta langsung di tanyakan oleh Pemohon  terkait kebenaran hal tersebut namun anak Pemohon juga mengatakan hal yang sama bahwa dia hanya menyuruh korban Rafa Setiawan untuk membeli rokok;

Bahwa, ketika Pemohon sedang mengobrol dengan anak Pemohon sekira pukul 23.30 Wib ada yang mengetuk pintu dan setelah dibuka mengaku sebagai pihak Kepolisian yang diketahui bernama Sdr. Asep Suryana yang bertugas pada Kantor Termohon sebagai Penyidik Pembantu dan beberapa orang yang Pemohon kenal adalah sebagai keluarga dari korban Rafa Setiawan. Setelah dibukakan pintunya oleh Pemohon Sdr. Asep Suryana langsung membawa anak Pemohon dengan alasan akan diamankan kekantor Termohon tanpa dengan menjelaskan alasan dan tidak memberikan dan/atau menunjukan Surat Penangkapan dan Surat Tugasnya, bahkan pada saat itu keluarga korban Rafa Setiawan ada yang sempat memukul anak Pemohon berulang kali;

Bahwa, sebelumnya tidak ada Surat Pemanggilan kepada Anak Pemohon dari Termohon;

Bahwa, tidak lama setelah anak Pemohon di bawa ke Kantor Termohon, Pemohon langsung di berikan Surat Perintah Penangkapan Nomor : SP.Kap/08/VII/2023/Reskrim tertanggal 12 Juli 2023, Surat Pemberitahuan Penahanan Atas Nama Tersangka Dzikri Nurhakim als Genjul bin Rohmat Nomor : B/07/VII/2023/Reskrim tertanggal 13 Juli 2023, Surat Perintah Penahanan Nomor : SP.Han/07/VII/2023/Reskrim tertanggal 13 Juli 2023, dan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan yang ditujukan kepada Turut Termohon (Kepala Kejaksaan Negeri Garut) Nomor : SPDP/07/VII/2023/Reskrim tertanggal 13 Juli 2023;

Bahwa, setelah itu anak Pemohon diperiksa oleh Sdr. Trijoko yaitu Anggota dari Kantor Termohon berdasarkan Surat Keputusan Kapolda Jabar Nomor : Skep/491/VIII/2010 tanggal 25 Agustus 2010 dan anak Pemohon “dipaksa” untuk mengakui bahwa anak Pemohon telah melakukan pencabulan yang dilakukan secara berulang-ulang terhadap korban Rafa Setiawan, sebagaimana dijelaskan dalam Berita Acara Pemeriksaan Tersangka tertanggal 13 Juli 2023, sedangkan pada saat pemeriksaan anak Pemohon tidak berdaya dan tidak ada yang mendampingi dalam pemeriksaan tersebut. Serta terhadap Korban Rafa Setiawan dan Orang Tuanya dipanggil oleh Termohon pada tanggal 13 Juli 2023 dan dilakukan Visum pada tanggal 18 Juli 2023 ;

Bahwa, dalam Surat Perintah Penangkapan Nomor : SP.Kap/08/VII/ 2023/ Reskrim yang diterbitkan oleh Termohon pada tanggal 12 Juli 2023 tercatat yang menjadi Dasar pada Surat a qou adalah :

Pasal 5 ayat (1) huruf b angka 1, Pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 11, Pasal 16 ayat (2), Pasal 17, Pasal 18 ayat (1), Pasal 111 ayat (1) KUHAP;
Pasal 82 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 02 tahun 2002 tentang Kepolisian RI;
Laporan Polisi Nomor : LP/B/78/VII/2023/SEK LMB, tertanggal 12 Juli 2023.

 

Dengan demikian, tindakan Termohon yang menangkap anak Pemohon sebagaimana dalam Surat Perintah Penangkapan menunjukan tidak adanya Surat Perintah Penyidikan.

Bahwa, pada saat itu juga anak Pemohon telah ditahan oleh Termohon untuk selama 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal 13 Juli 2023 s/d 01 Agustus 2023 berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor : SP.Han/07/VII/2023/Reskrim tertanggal 13 Juli 2023 dan Surat Pemberitahuan Penahanan Nomor:B/07/VII/2023/Reskrim tertanggal 13 Juli 2023 adapun yang menjadi dasar Surat a qou adalah :

Pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 11, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 dan Pasal 24 ayat (1) KUHAP;
Pasal 16 ayat (1) huruf a, Undang-Undang No. 02 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI;
Laporan Polisi Nomor : LP/B/78/VII/2023/SEK LMB, tertanggal 12 Juli 2023.

Dalam Surat Perintah Penahanan yang diserahkan oleh Termohon kepada Pemohon, kembali menunjukan bahwa Termohon bertindak berdasarkan “Tidak Adanya Surat Perintah Penyidikan”;

Bahwa, pada tanggal 13 Juli 2023 Termohon telah menerbitkan Surat Nomor : SPDP/07/VII/2023/Reskrim tentang Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Garut (Turut Termohon) yang kemudian surat tersebut diberikan kepada Pemohon. Adapun yang menjadi Dasar Penyidik sebagaimana tercatat dalam Surat a qou adalah sebagai berikut :

Laporan Polisi Nomor : LP/B/78/VII/2023/Sek lmb Tgl. 12 Juli 2023;
Pasal 109 ayat (1) KUHAP;
Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia;
Surat Perintah Penyidikan Nomor : SP.Sidik/07/VII/2023/Reskrim tertanggal 13 Juli 2023.

 

Bahwa, dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), ditegaskan di dalam ketentuan materi pasal atau ayat tercermin perlindungan terhadap hak asasi manusia serta kewajiban warga negara maupun asas-asas yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia. Adapun salah satu asas tersebut menyebutkan “Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan dan Penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang”. Dengan demikian tindakan Termohon terhadap Penangkapan, dan Penahanan kepada anak Pemohon adalah tindakan sewenang-wenang dan bertentangan dengan hukum;

Bahwa, Termohon dalam menetapkan anak Pemohon sebagai Tersangka pada tanggal 13 Juli 2023 berdasarkan bukti permulaan yang cukup? Sebagaimana tercatat dalam pertimbangan Surat Perintah Penangkapan a qou sedangkan dalam KUHAP tidak ditemukan definisi dari Bukti Permulaan namun telah diatur dalam Peraturan Kapolri No. 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan, Pasal 1 angka 21 telah menyebutkan “Bukti permulaan adalah alat bukti berupa Laporan Polisi dan 1 (satu) alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukan penangkapan”;

Bahwa, merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tentang Bukti Permulaan sebagaimana tercatat dalam Frasa : Bukti Permulaan ”dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP, Pasal 17 KUHAP dan Pasal 21 KUHAP telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP” Konsekuensinya, pengertian dan atau Penetapan Tersangka tidak lagi merujuk pada KUHAP maupun Peraturan Kapolri No. 14 tahun 2012 yang telah dinyatakan tidak berlaku (sejak tanggal 03 Oktober 2019) melainkan merujuk pada Peraturan Kapolri No. 6 tahun 2019, yang menyebutkan sebagai berikut :

Pasal 1 angka 9

“Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan 2 (dua) alat bukti yang sah didukung barang bukti patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”;

 

Pasal 25

Penetapan Tersangka berdasarkan paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang didukung barang bukti;
Penetapan Tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan melalui mekanisme gelar perkara, kecuali tertangkap tangan.

 

Pasal 1 angka 18

“Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat setelah tindak pidana itu dilakukan atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya diketemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu”;

 

Bahwa, merujuk pada Pasal 1 angka 18 a qou dengan keberadaan anak Pemohon yang tetap di kantor Termohon sejak tanggal 12 Juli 2023, menunjukkan anak pemohon tidak termasuk dalam keadaan tertangkap tangan. Namun faktanya Anak Pemohon ditetapkan menjadi Tersangka oleh Termohon pada tanggal 13 Juli 2023 sebagaimana tercatat dalam Surat Perintah Penangkapan Nomor : SP.Kap/08/VII/2023/Reskrim yang diterbitkan oleh Termohon pada tanggal 12 Juli 2023 berdasarkan Laporan Polisi Nomor : LP/B/78/VII/2023/SEK LMB tertanggal 12 Juli 2023 sehubungan apa yang telah dialami oleh Korban Rafa Setiawan.

Bahwa, demi hukum seharusnya Termohon melakukan kegiatan penyelidikan terlebih dahulu guna memenuhi syarat 2 (dua) alat bukti yang didukung barang bukti sebagaimana ditentukan dalam Pasal 25 ayat (1) Peraturan Kapolri No. 6 tahun 2019, sehingga penetapan Tersangka terhadap anak Pemohon yang ditetapkan oleh Termohon berdasarkan mekanisme gelar perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (2) Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019;

Dengan demikian penetapan Tersangka anak Pemohon pada tanggal 12 Juli 2023 oleh Termohon pada hari yang sama dengan diterimanya Laporan Polisi yang pada saat ini menurut keterangan Sdr. Trijoko atas nama Pelapor Ade Karyawan (Orang Tua Rafa Setiawan) pada tanggal 12 Juli 2023 ternyata tanpa didukung adanya barang bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), adalah TIDAK SAH dan bertentangan dengan hukum sehingga tidak menutup kemungkinan Termohon salah dalam menetapkan Tersangka maupun kemungkinan adanya pertentangan fakta hukum antara Saksi Pelapor dan atau Saksi Korban dengan keterangan Tersangka maupun barang bukti itu sendiri;

Bahwa, tindakan Termohon dalam melakukan “upaya paksa” terkesan terburu-buru dan tidak memperhatikan aturan hukum terkait perlindungan terhadap hak asasi manusia hal mana Termohon seharusnya melakukan tindakan pemeriksaan dengan teliti untuk mencari keterangan, mengumpulkan bukti, menjaga keutuhan TKP dan memeriksa semua objek yang relevan dengan tujuan pemeriksaan pengolahan di Tempat Kejadian Perkara (TKP) sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2008. Faktanya, tindakan Termohon dalam melakukan penetapan Tersangka pada tanggal 12 Juli 2023 yang bersamaan dengan tanggal diterima Laporan Polisi Nomor : LP//B/78/VII/2023/SEK LMB tertanggal 12 Juli 2023, jelas menunjukkan tanpa melakukan pemeriksaan di TKP, melakukan Visum (yang mana pada saat ini diketahui dilakukannya visum oleh Termohon pada tanggal 18 Juli 2023, sebagaimana dijelaskan dalam hasil Visum Nomor : 445.5/1559.2/RSU/VII/2023) sehingga tidak menutup kemungkinan terdapat kekeliruan atas tindakan Termohon maupun adanya pertentangan fakta hukum antara Saksi Pelapor dan Saksi Korban dengan keterangan Tersangka maupun barang bukti itu sendiri. Adapun tindakan pemeriksaan Termohon di TKP sebagaimana diatur dalam Pasal 30 Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, telah mengatur tentang kewajiban Termohon. Lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut :

Pasal 30

Dalam melakukan tindakan pemeriksaan TKP, Petugas wajib :

Melaksanakan tindakan pemeriksaan TKP sesuai Peraturan Perundang-undangan;
Melakukan pemeriksaan dengan teliti untuk mencari keterangan mengumpulkan bukti, menjaga keutuhan TKP dan memeriksa semua objek yang relevan dengan tujuan pemeriksaan pengolahan TKP;
Menutup TKP dan melarang orang lain yang tidak berkepentingan memasuki TKP, dengan cara yang wajar, tegas tetapi sopan;
Mencari informasi yang penting untuk pengungkapan perkara kepada orang yang ada di TKP dengan sopan;
Melakukan tindakan di TKP hanya untuk kepentingan tugas yang di dalam batas kewenangannya;
Memperhatikan dan menghargai hak-hak orang untuk memberikan keterangan secara bebas;
Melaksanakan pemeriksaan dalam waktu yang secukupnya dan membuka kembali TKP setelah kepentingan pengolahan TKP selesai;
Mencatat semua keterangan dan informasi yang diperoleh di TKP dan membuat berita acara pemeriksaan TKP, dan
Membubuhkan tanda tangan pemeriksa, terperiksa/saksi dan/atau orang yang menyaksikan pemeriksaan TKP.

 

Bahwa, memperhatikan ketentuan materi pasal atau ayat yang menjadi dasar hukum atas upaya paksa (tindakan penangkapan, tindakan penahanan, dan penetapan Tersangka) yang dilakukan Termohon ternyata bertentangan dengan Peraturan-peraturan terkait. Hal tersebut merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 2 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menyebutkan bahwa “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan Tersangka”. Sedangkan Peraturan Kapolri No. 6 tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana telah mengatur Kegiatan Penyidikan yang seharusnya dilaksanakan oleh Termohon. Lebih jelas diuraikan sebagai berikut :

Pasal 10

 Kegiatan penyidikan tindak pidana terdiri atas :

Penyelidikan;
Dimulainya penyidikan;
Upaya paksa;
Pemeriksaan;
Penetapan Tersangka;
Pemberkasan;
Penyerahan berkas perkara;
Penyerahan Tersangka dan barang bukti, dan
Penghentian penyidikan.

Pasal 13 :

 Penyidikan dilakukan dengan dasar.

Laporan Polisi, dan
Surat Perintah Penyidikan

 Surat Perintah Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurub b, paling sedikit memuat :

Dasar Penyidikan;
Identitas tim penyidik;
Perkara yang dilakukan penyidikan;
Waktu dimulainya penyidikan, dan
Identitas penyidik selaku pejabat pemberi perintah.

Setelah Surat Perintah Penyidikan diterbitkan, dibuat SPDP.

Pasal 14

 SPDP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dikirimkan kepada penuntut umum, pelapor/korban, dan terlapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan.
SPDP paling sedikit memuat :

Dasar penyidikan berupa laporan polisi dan Surat Perintah Penyidikan;
Waktu dimulainya penyidikan;
Jenis perkara, pasal yang dipersangkakan dan uraian singkat tindak pidana yang disidik;
Identitas Tersangka;
Identitas pejabat yang menandatangani SPDP.

Pasal 16

Upaya paksa meliputi :

Pemanggilan;
Penangkapan;
Penahanan;
Penggeledahan;
Penyitaan, dan
Pemeriksaan surat.

Upaya paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat didahulukan dengan penyelidikan.

Pasal 17

 Pemanggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a, dilakukan secara tertulis dengan menerbitkan surat pemanggilan atas dasar Laporan Polisi dan Surat Perintah Penyidikan.
 Pemanggilan terhadap Tersangka/Saksi/Ahli dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 18

 Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b, dapat dilakukan oleh penyidik atau penyidik pembantu terhadap Tersangka atau oleh penyelidik atas perintah penyidik.
 Penyidik atau penyidik pembantu yang melakukan penangkapan wajib melengkapi dengan surat perintah penangkapan dan surat perintah tugas.

 

     Bahwa, dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Pasal 18 ayat (1) menyebutkan: pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada Tersangka Surat Perintah Penangkapan yang mencantumkan identitas Tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.

 

Bahwa, tindakan Termohon seharusnya selain memperhatikan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 dan Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana juga harus memperhatikan Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2008 tentang implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sehingga rangkaian penyidikan Termohon harus dilengkapi dengan Administrasi Penyidikan.

Bahwa, dengan merujuk kegiatan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Peraturan Kaporli No. 6 Tahun 2019, maka kewenangan Termohon dalam melakukan upaya paksa (tindakan penangkapandan tindakan Penahanan) terhadap anak Pemohon adalah tidak sah karena tidak berdasarkan Surat Perintah Penyidikan sehingga bertentangan dengan Pasal 13, Pasal 20 dan Pasal 21 Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019. Selain itu, penetapan Tersangka yang dibuat oleh Termohon terhadap anak Pemohon juga tanpa melalui mekanisme gelar perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (2) Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 adalah tidak sah dan bertentangan dengan hukum;

Bahwa, merujuk UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, tindakan Termohon selaku Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang melaksanakan fungsi pemerintahan adalah tidak sah dan bertentangan dengan hukum sehingga telah memberikan akibat hukum tidak mengikat sejak Keputusan dan/atau Tindakan tersebut ditetapkan. Lebih lengkap ketentuan dalam UU tersebut diuraikan sebagai berikut :

Pasal 70 :

 Keputusan dan/atau Tindakan tidak sah apabila :

Dibuat oelh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang tidak berwenang;
Dibuat oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang melampaui kewenangannya, dan/atau
Dibuat oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang bertindak sewenang-wenang.

Akibat hukum Keputusan dan/atau Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi :

Tidak mengikat sejak Keputusan dan/atau Tindakan tersebut diterapkan, dan
Segala akibat hukum yang ditimbulkan dianggap tidak pernah ada.

 

Pasal 71

Keputusan dan/atau Tindakan dapat dibatalkan apabila :

Terdapat kesalahan prosedur; atau
terdapat kesalahan subtansi.

Akibat hukum Keputusan dan/atau Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :

Tidak mengikat sejak saat dibatalkan atau tetap sah sampai adanya pembatalan, dan
Berakhir setelah ada pembatalan.

Keputusan pembatalan dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan dan/atau Atasan Pejabat dengan menetapkan dan/atau melakukan Keputusan baru dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan atau berdasarkan perintah Pengadilan.
Penetapan Keputusan baru sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi kewajiban Pejabat Pemerintahan.
Kerugian yang timbul akibat Keputusan dan/atau Tindakan yang dibatalkan menjadi tanggung jawab Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.

Bahwa, Termohon telah mengajukan Permintaan Perpanjangan Penahanan kepada Turut Termohon dengan Nomor Surat Permintaan : B/07/VII/2023/Reskrim. Dan Turut Termohon memberikan perpanjangan penahanan selama 40 (empat puluh) hari terhitung mulai tanggal 03 Agustus 2023 s/d tanggal 11 September 2023, sebagaimana dengan Surat Perpanjangan Penahanan Nomor : B-530/M.2.15/Eku.1/08/2023.

Bahwa, tindakan Termohon dalam melakukan upaya paksa baik tindakan penangkapan, tindakan penahanan, termasuk penetapan Tersangka terhadap anak Pemohon tanpa memperhatikan peraturan-peraturan sebagaimana tersebut diatas sementara tidak menutup kemungkinan terdapat kekeliruan atas tindakan Termohon.

 

PERMINTAAN GANTI KERUGIAN DAN/ATAU REHABILITASI

Bahwa, dengan tindakan Termohon dalam penangkapan dan penahanan serta penetapan menjadi Tersangka terhadap anak Pemohon adalah tidak sah secara hukum telah mengakibatkan kerugian materiil dan imateriil yang tidak dapat dihitung secara pasti bila di rupiahkan dengan uang bagi anak Pemohon, namun demi kepastian hukum mengingat anak Pemohon baru beberapa bulan berkerja di PT. Cangsin Leles Garut dan dengan tindakan Termohon tersebut mengakibatkan anak Pemohon tidak dapat lagi berkerja di tempat kerjaannya sekarang, sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana mengatur sebagai berikut :

Pasal 9

Ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf (b) dan Pasal 95 KUHAP adalah berupa imbalan serendah-rendahnya Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dan setinggi-tingginya sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah);
Ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan luka berat atau cacat sehingga tidak bias melakukan pekerjaan besaran ganti kerugian paling sedikit Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).

Merujuk pada pasal tersebut diatas fakta membuktikan bahwa akibat penangkapan, dan penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP, maka nilai kerugian yang seharusnya di bayarkan oleh Termohon kepada anak Pemohon adalah sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).

Bahwa selain kerugian materiil akibat tindakan Termohon atas kekeliruan penangkapan dan penahanan terhadap anak Pemohon sehingga telah mengakibatkan harkat dan martabat anak Pemohon berserta keluarga Pemohon telah jatuh secara sosial maupun psikologis, maka berdasarkan Pasal 1366 KUHPerdata, selain minta ganti kerugian secara materiil sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah), juga meminta kerugian imateriil sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) yang harus ditanggung oleh Termohon. Maka besaran keseluruhan yang harus di bayarkan oleh Termohon adalah sebesar Rp. 1.100.000.000,- (satu milyar seratus juta rupiah).

 

 

 

 PERMOHONAN

Berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas, Pemohon dengan hormat memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Garut kiranya berkenan memanggil Pemohon dan Termohon, memeriksa dan mengadili perkara ini serta menjatuhkan Putusan yang amarnya sebagai berikut :

 

Menyatakan menerima dan mengabulkan Permohonan Pemohon Prapradilan untuk seluruhnya;
Menyatakan :

Laporan Polisi Nomor : LP/B/78/VII/2023/SEK LMB, tertanggal 12 Juli 2023;
Surat Perintah Penangkapan Nomor : SP,Kap/08/VII/2023/Reskrim, tertanggal 12 Juli 2023;
Surat Perintah Penahanan Nomor : SP.Han/07/VII/2023/Reskrim, tertanggal 13 Juli 2023;
Surat Nomor : B/07/VII/2023/Reskrim, tertanggal 13 Juli 2023;
Surat Nomor : SPDP/07/VII/2023/Reskrim, tertanggal 13 Juli 2023;
Surat Nomor : B/07/VII/2023/Reskrim, tertanggal 28 Juli 2023;
Surat Perpanjangan Penahanan Nomor : B-530/M.2.15/Eku.1/08/2023.

Adalah tidak sah dan batal demi hukum dengan segala akibat hukumnya;

Menyatakan segala produk hukum lanjutan Termohon adalah tidak sah dan batal demi hukum dengan segala akibat hukumnya;
Menghukum Termohon untuk segera membebaskan anak Pemohon demi hukum;
Menghukum Termohon untuk membayar ganti kerugian materiil dan imateriil sebesar Rp. 1.100.000.000,- (satu milyar seratus juta rupiah) secara tunai, seketika, dan sekaligus;
Membebankan biaya dalam Perkara Praperadilan ini kepada Negara;

Atau

Apabila Majelis Hakim Yang Mulia berpendapat lain mohon agar memberikan Putusan/Penetapan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

 

Demikian Permohonan Praperadilan ini dibuat dan dismpaikan kepada Yang Mulia Ketua Pengadilan Negeri Garut, kiranya dapat diterima dan diselesaikan secara Arif dan Bijaksana.

Pihak Dipublikasikan Ya