Kembali |
Nomor Perkara | Pemohon | Termohon | Status Perkara |
1/Pid.Pra/2018/PN Grt | MELADI ALS MEL BIN ALIX | H.MUSLIH HIDAYAT,SH | Minutasi |
Tanggal Pendaftaran | Kamis, 08 Feb. 2018 | ||||
Klasifikasi Perkara | Sah atau tidaknya penangkapan | ||||
Nomor Perkara | 1/Pid.Pra/2018/PN Grt | ||||
Tanggal Surat | Kamis, 08 Feb. 2018 | ||||
Nomor Surat | 01/Pra.Per/II/2018 | ||||
Pemohon |
|
||||
Termohon |
|
||||
Kuasa Hukum Termohon | |||||
Petitum Permohonan | [Rounded Rectangle: Home] Perihal : [Rounded Rectangle: Office] PERMOHONAN PRAPERADILAN ATAS NAMA PEMOHON : MELADI Als MEL Bin ALIX Terhadap Penetapan sebagai tersangka dalam dugaan Tindak Pidana Pembunuhan dan atau Penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 subs Pasal 351 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Kepada Yth Ketua Pengadilan Negeri Garut Di Tempat
Dengan hormat, Saya yang bertanda tangan di bawah ini, BAMBANG IRAWAN, S.H., Advokat dan Penasehat Hukum pada Kantor Hukum BAMBANG IRAWAN, S.H. dan REKAN beralamat di Jl. Merdeka No. 28 – Garut, dalam hal ini bertindak berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 Februari 2018, untuk dan atas nama :
N a m a : MELADI Als MEL Bin ALIX Jenis Kelamin : Laki-laki Tpt Tgl Lahir /Umur : Garut 10 November 1977 Pekerjaan : Wiraswasta Agama : Islam Warga Negara : Indonesia Alamat : Kp. Nagara Tengah RT 04 RW 01, Desa Cimanganten, Kec. Tarogong Kaler, Kabupaten Garut
selanjutnya disebut sebagai PEMOHON
Dengan segala hormat dan kerendahan hati perkenankanlah dengan ini bermaksud mengajukan permohonan pra peradilan terhadap Penetapan sebagai tersangka dalam dugaan Tindak Pidana Pembunuhan dan atau Penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 subs Pasal 351 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
TERHADAP :
Kepala Kepolisian Republik Indonesia, c.q Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat, c.q. Kepala Kepolisian Resort Garut cq Kepala satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resort Garut yang beralamat di Jl. Jendral Sudirman No. 204 – Garut selanjutnya disebut sebagai TERMOHON
Adapun yang menjadi alasan permohonan pemohon adalah sebagai berikut : DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah: Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut terobosan hukum (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini. Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011 Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut : Mengadili, Menyatakan : Mengabulkan Permohonan untuk sebagian : [dst] Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.
ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN PEMOHON TIDAK PERNAH DIPERIKSA SEBAGAI CALON Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
PEMOHON PADA SAAT DIPERSIKSA SEBAGAI TERSANGKA TIDAK DIDAMPINGI OLEH PENASEHAT HUKUM Bahwa pada saat Pemohon diperisksa sebagai tersangka, yaitu pada tanggal 12 Desember 2017 tidak didampingi Penasehat Hukum, sehingga hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana terdapat di dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP oleh Termohon, dengan alasan sebagai berikut : Pemohon diancam dengan pidana penjara maksimal 15 tahun penjara ;
Dalam due process of law sekalipun pihak Kepolisian dalam menjalankan fungsi penyelidikan dan penyidikan telah diberi hak istimewa oleh undang-undang atau hak privillege berupa : memanggil, memeriksa, menahan, menangkap, menggeledah, menyita terhadap dan dari diri Pemohon, akan tetapi di dalam melaksanakan hak-haknya tersebut pihak kepolisian harus taat dan tunduk kepada prinsip The Right of Due Process, yaitu Pemohon berhak diselidik dan / atau disidik atas landasan sesuai dengan hukum acara ;
Bahwa demikian pula Termohon dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan penyidikan, seharusnya mengacu dan berpegang teguh pada ketentuan khusus yang telah diatur dan dituangkan pada Hukum Acara Pidana (Criminal Procedure) sebagaimana terdapat di dalam KUHAP ;
Konsep due process merupakan bagian integral dari upaya menjunjung tinggi supremasi hukum dalam menangani suatu tindak pidana yang pelaksanaannya harus berpedoman dan menghormati doktrin inkorporasi yang memuat berbagai hak yang antara lain telah dirumuskan pada BAB VI KUHAP, yang salah satunya adalah hak untuk mendapatkan bantuan hukum seperti termaktub pada Pasal 54 KUHAP ;
Namun, khusus untuk sangkaan / dugaan / dakwaan yang diancam dengan hukuman pidana penjara maksimal 15 tahun atau lebih, sebagaimana yang sekarang disangkakan kepada Pemohon, Pemohon seharusnya bukan hanya sekedar diberitahu haknya untuk mendapat bantuan hukum seperti tersebut pada Pasal 54 Jo Pasal 114 KUHAP. Lebih dari itu, Pemohon harus menerima haknya untuk mendapatkan bantuan hukum sejak dari awal proses penyidikan seperti ditegaskan dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP yang menegaskan : Pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka ;
Kewajiban untuk menunjuk Penasihat Hukum sebagaimana terdapat pada Pasal 56 ayat (1) KUHAP ini adalah suatu kewajiban yang bersifat imperative, penyidik tidak hanya wajib memberitahukan akan hak Pemohon untuk mendapatkan bantuan hukum, namun dalam hal ini penyidik wajib untuk menunjuk Penasihat Hukum bagi Pemohon. Dan, apabila terjadi setelah adanya penunjukan Penasihat Hukum oleh penyidik Pemohon menolak untuk didampingi Penasihat Hukum, guna menciptakan penegakan hukum yang transparan, maka hal penolakan oleh Pemohon ini seharusnya terjadi setelah penyidik melaksanakan kewajibannya untuk menunjuk Penasihat Hukum. Sedangkan, bila memang ada penolakan ini dari Pemohon, demi terciptanya suatu kejujuran dalam proses penegakan hukum (lawenforcement), penolakan oleh Pemohon ini seharusnya dilakukan atau diketahui langsung dihadapan Penasihat Hukum yang telah ditunjuk oleh penyidik tersebut dengan terlebih dahulu penyidik menghadapkan Penasihat Hukum tersebut kepada Pemohon bukan hanya dengan memberikan surat pernyataan tidak bersedia didampingi penasihat hukum sebagaimana dilakukan kepada Pemohon ;
Kalau pun Surat Pernyataan Pemohon Tidak Bersedia Didampingi Penasihat Hukum. dari Pemohon ini ada, seharusnya tidak dapat melumpuhkan dan/ atau menghilangkan ketentuan undang-undang yang mewajibkan pejabat yang bersangkutan untuk menunjuk penasihat hukum bagi Pemohon sebagaimana ditegaskan Pasal 56 ayat (1) KUHAP ;
Dari segi pendekatan formalistic legal thinking, ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP, sebagaimana dijelaskan dalam buku M. Yahya Harapah, SH, berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP hal. 327, Penerbit Sinar Grafika, Tahun 2000, menerangkan Pasal 56 ayat (1) KUHAP mengandung berbagai aspek permasalahan hukum yaitu :
Mengandung aspek nilai HAM, sesuai dengan deklarasi universal HAM yang menegaskan bahwa hadirnya Penasihat Hukum mendampingi Pemohon atau Pemohon merupakan nilai yang inheren pada diri manusia. Dengan demikian mengabaikan hak ini bertentangan dengan nilai HAM ;
Bahwa terhadap Berita Acara Pemeriksaan Pemohon sebagai tersangka yang dilaksanakan pada tanggal 12 Desember 2017, terdapat beberapa keterangan Pemohon yang kemudian dicabut oleh Pemohon, dimana hal ini telah dituangkan dalam berita acara rekontruksi, namun sampai dengan diajukannya permohonan ini, Pemohon belum menerima salinan berita acara rekontruksinya.
Bahwa terkait alasan pencabutan keterangan Pemohon dalam berita acara pemeriksaan Pemohon sebagai tersangka yang dilaksanakan pada tanggal 12 Desember 2017, Pemohon memohon agar yang mulia hakim yang memeriksa permohonan ini memerintakan Termohon agar Pemohon prinsipal dihadirkan dalam sidang permohonan praperadilan guna menyampaikan alasannya.
TIDAK PERNAH ADA PENYELIDIKAN ATAS DIRI PEMOHON SESUAI DENGAN KETENTUAN HUKUM YANG BERLAKU Bahwa sebagaimana diakui baik oleh Pemohon maupun Termohon, bahwa penetapan tersangka atas diri Pemohon baru diketahui oleh Pemohon berdasarkan surat perintah penangkapan oleh Termohon kepada Pemohon sebagaimana dokumen Surat Perintah Penangkapan Nomor SP. Kap/83/XII/2017/ Reskrim tertanggal 11 Desember 2017. Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut; Bahwa mengingat SP Penyidikan ke Penetapan Pemohon sebagai Tersangka hanya dilakukan 2 hari, maka dipastikan bahwa Termohon tidak melakukan pemanggilan secara syah terhadap para saksi mengingat pemanggilan haruslah dilakukan harus memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut.
PEMOHON DITETAPKAN SEBAGAI TERSANGKA, TANPA TERLEBIH DAHULU DIPANGGIL DAN DIPERIKSA SEBAGAI CALON TERSANGKA Bahwa Pemohon ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 11 Desember 2017, bahwa sebelumnya Pemohon tidak pernah menerima panggilan dari Termohon melalui Surat Panggilan resmi, dan Pemohon pada tanggal 11 Desember 2017 hanya dipanggil oleh Termohon melalui adik ipar Pemohon yang kebetulan anggota kepolisian Polres Garut via telepon agar Pemohon datang Ke Polres Garut.
TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA Bahwa Termohon dalam menetapkan tersangka dalam dugaan Pembunuhan dan Penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 subs Pasal 351 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Reskrim Kepolisiah Resort Garut kepada Pemohon tidak didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.
PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan. – ditetapkan oleh pejabat yang berwenang – dibuat sesuai prosedur; dan – substansi yang sesuai dengan objek Keputusan Bahwa sebagaiman telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penetapan tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku. Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan A Quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut : Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keuputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri Garut yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.
PETITUM Berdasar pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Garut c.q Hakim Pengadilan Negeri Garut yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut : Menyatakan diterima permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;
PEMOHON sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Ketua Pengadilan Negeri Garut c.q Hakim Pengadilan Negeri Garut yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara aquo dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.
Apabila Yang Terhormat Ketua Pengadilan Negeri Garut c.q Hakim Pengadilan Negeri Garut yang memeriksa Permohonan aquo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Garut, 8 Februari 2018 Hormat kami, Advokat / Penasehat Hukum Pada Kantor Hukum BAMBANG IRAWAN, S.H. dan REKAN
BAMBANG IRAWAN, S.H. |
||||
Pihak Dipublikasikan | Ya |