Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI GARUT
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2018/PN Grt MELADI ALS MEL BIN ALIX H.MUSLIH HIDAYAT,SH Minutasi
Tanggal Pendaftaran Kamis, 08 Feb. 2018
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penangkapan
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2018/PN Grt
Tanggal Surat Kamis, 08 Feb. 2018
Nomor Surat 01/Pra.Per/II/2018
Pemohon
NoNama
1MELADI ALS MEL BIN ALIX
Termohon
NoNama
1H.MUSLIH HIDAYAT,SH
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

[Rounded Rectangle: Home]
[Text Box: Jl. Merdeka No. 28 - Garut]

Perihal : 

[Rounded Rectangle: Office] PERMOHONAN PRAPERADILAN ATAS NAMA PEMOHON : MELADI Als MEL Bin ALIX  Terhadap  Penetapan sebagai tersangka dalam dugaan Tindak Pidana Pembunuhan dan  atau Penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 subs Pasal 351 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

 

 

Kepada Yth

Ketua Pengadilan Negeri Garut

Di

Tempat

 

Dengan hormat,

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, BAMBANG IRAWAN, S.H., Advokat dan Penasehat Hukum pada Kantor Hukum BAMBANG IRAWAN, S.H. dan REKAN beralamat di Jl. Merdeka No. 28 – Garut,   dalam hal ini bertindak berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 Februari 2018,  untuk dan atas nama :

 

N a m a                           : MELADI Als MEL Bin ALIX

Jenis Kelamin                 : Laki-laki                     

Tpt Tgl Lahir /Umur       : Garut 10 November 1977

Pekerjaan                        : Wiraswasta

Agama                            : Islam

Warga Negara                : Indonesia

Alamat                           : Kp. Nagara Tengah RT 04 RW 01, Desa Cimanganten, Kec.    

  Tarogong Kaler, Kabupaten Garut

 

selanjutnya disebut sebagai PEMOHON

 

Dengan segala hormat dan kerendahan hati perkenankanlah dengan ini bermaksud mengajukan permohonan pra peradilan terhadap Penetapan sebagai tersangka dalam dugaan Tindak Pidana Pembunuhan dan  atau Penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 subs Pasal 351 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana  

 

TERHADAP :

 

Kepala Kepolisian Republik Indonesia, c.q Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat, c.q. Kepala Kepolisian Resort Garut  cq Kepala satuan Reserse Kriminal  Kepolisian Resort Garut yang beralamat di Jl. Jendral Sudirman No. 204 – Garut selanjutnya disebut sebagai TERMOHON

 

Adapun yang menjadi alasan permohonan pemohon adalah sebagai berikut :

DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :

Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut terobosan hukum (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.
Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :

Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011
Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 november 2012
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015
Dan lain sebagainya

Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :

Mengadili,

Menyatakan :

Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :

[dst]
[dst]
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;

Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.

 

ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN

PEMOHON TIDAK PERNAH DIPERIKSA SEBAGAI CALON

Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti.
Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia), (Vide putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 halaman 98)
Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka  untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu. (Vide putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 halaman 98)
Bahwa perlu Pemohon sampaikan, bahwa Pemohon sebelumnya tidak pernah dipanggil secara resmi oleh Termohon, akan tetapi Pemohon hanya dihubungi oleh Termohon melalui Telepon agar Pemohon datang ke Kantor Termohon pada tanggal 11 Desember 2017 (bukannya ditangkap sebagaimana dokumen Surat Perintah Penangkapan Nomor SP. Kap/83/XII/2017/ Reskrim tertanggal 11 Desember 2017) kemudian Pemohon tanpa berpikir apa-apa datang menemui Termohon, dan sejak itu Pemohon sampai dengan diajukannya permohonan pra peradilan ini tidak pernah kembali lagi ke rumah Pemohon.
Bahwa kemudian pada tanggal 12 Desember 2017 baru terhadap Pemohon dilakukanlah pemeriksaan dengan kapasitas sebagai Tersangka, dan langsung dilakukan penahanan sebagaimana Surat Perintah Penahanan Nomor SP. Han/123/XII/2017/Reskrim tertanggal 12 Desember 2017.
Bahwa  Pemohon tidak pernah dilakukan Pemeriksaan dalam kapasitas Pemohon sebagai calon tersangka.  akan tetapi Pemohon langsung dipanggil agar datang ke kantor Termohon, dan sampai dengan sekarang tidak pernah bisa pulang lagi, sehingga oleh karena Pemohon tidak pernah diperiksa sebagai calon Tersangka, sehingga tidak dengan seimbang Pemohon dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan kepada Pemohon. Pemohon hanya diperiksa untuk pertama kali oleh Termohon pada pada saat setelah ditetapkan sebagai Tersangka yakni pada tanggal 11 Desember 2017, yaitu pada saat dikeluarkannya Surat Perintah Penangkapan sebagaimana dokumen Surat Perintah Penangkapan Nomor SP. Kap/83/XII/2017/ Reskrim tertanggal 11 Desember 2017.
Untuk itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya. Tidak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini Reserse Kriminal Polres Garut.
Dengan demikian jelas tindakan Termohon dengan atau tanpa pemeriksaan calon tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan tersangka terhadap diri Pemohon oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo.
Bahwa demikian pula oleh karena penetapan tersangka terhadap Pemohon tidak sah, maka segala tindakan Termohon berupa penangkapan dan penahanan terhadap diri Pemohon harus lah pula dinyatakan tidak sah dan Termohon harus diperintahkan agar Pemohon segera dikeluarkan dari tahanan polres Garut
Bahwa terhadap penyitaan atas barang-barang milik Pemohon pn harus pula dinyatakan tidak sah.

 

PEMOHON PADA SAAT DIPERSIKSA SEBAGAI TERSANGKA TIDAK DIDAMPINGI OLEH PENASEHAT HUKUM

Bahwa pada saat Pemohon diperisksa sebagai tersangka, yaitu pada tanggal 12 Desember 2017 tidak didampingi Penasehat Hukum, sehingga hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana terdapat di dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP oleh Termohon,  dengan alasan sebagai berikut :

Pemohon diancam dengan pidana penjara maksimal 15 tahun penjara ;
Dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP, penyidik WAJIB menunjuk Penasihat Hukum bagi Pemohon  ;
Fakta hukum menunjukkan ternyata Termohon dalam perkara ini telah melalaikan kewajibannya dalam menunjuk penasihat hukum bagi Pemohon ;

 

Dalam due process of law sekalipun pihak Kepolisian dalam menjalankan fungsi penyelidikan dan penyidikan telah diberi hak istimewa oleh undang-undang atau hak privillege berupa : memanggil, memeriksa, menahan, menangkap, menggeledah, menyita terhadap dan dari diri Pemohon, akan tetapi di dalam melaksanakan hak-haknya tersebut pihak kepolisian harus taat dan tunduk kepada prinsip The Right of Due Process, yaitu Pemohon berhak diselidik dan / atau disidik atas landasan sesuai dengan hukum acara ;

 

Bahwa demikian pula Termohon dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan penyidikan, seharusnya mengacu dan berpegang teguh pada ketentuan khusus yang telah diatur dan dituangkan pada Hukum Acara Pidana (Criminal Procedure) sebagaimana terdapat di dalam KUHAP ;

 

Konsep due process merupakan bagian integral dari upaya menjunjung tinggi supremasi hukum dalam menangani suatu tindak pidana yang pelaksanaannya harus berpedoman dan menghormati doktrin inkorporasi yang memuat berbagai hak yang antara lain telah dirumuskan pada BAB VI KUHAP, yang salah satunya adalah hak untuk mendapatkan bantuan hukum seperti termaktub pada Pasal 54 KUHAP ;

 

Namun, khusus untuk sangkaan / dugaan / dakwaan yang diancam dengan hukuman pidana penjara maksimal 15 tahun atau lebih, sebagaimana yang sekarang disangkakan kepada Pemohon, Pemohon seharusnya bukan hanya sekedar diberitahu haknya untuk mendapat bantuan hukum seperti tersebut pada Pasal 54 Jo Pasal 114 KUHAP. Lebih dari itu, Pemohon harus menerima haknya untuk mendapatkan bantuan hukum sejak dari awal proses penyidikan seperti ditegaskan dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP yang menegaskan :

Pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka ;

 

Kewajiban untuk menunjuk Penasihat Hukum sebagaimana terdapat pada Pasal 56 ayat (1) KUHAP ini adalah suatu kewajiban yang bersifat imperative, penyidik tidak hanya wajib memberitahukan akan hak Pemohon untuk mendapatkan bantuan hukum, namun dalam hal ini penyidik wajib untuk menunjuk Penasihat Hukum bagi Pemohon. Dan, apabila terjadi setelah adanya penunjukan Penasihat Hukum oleh penyidik  Pemohon menolak untuk didampingi Penasihat Hukum, guna menciptakan penegakan hukum yang transparan, maka hal penolakan oleh Pemohon ini seharusnya terjadi setelah penyidik melaksanakan kewajibannya untuk menunjuk Penasihat Hukum. Sedangkan, bila memang ada penolakan ini dari Pemohon, demi terciptanya suatu kejujuran dalam proses penegakan hukum (lawenforcement), penolakan oleh Pemohon ini seharusnya dilakukan atau diketahui langsung dihadapan Penasihat Hukum yang telah ditunjuk oleh penyidik tersebut dengan terlebih dahulu penyidik menghadapkan Penasihat Hukum tersebut kepada Pemohon bukan hanya dengan memberikan surat pernyataan tidak bersedia didampingi penasihat hukum sebagaimana dilakukan kepada Pemohon ;

 

Kalau pun Surat Pernyataan Pemohon Tidak Bersedia Didampingi Penasihat Hukum. dari Pemohon ini ada, seharusnya tidak dapat melumpuhkan dan/ atau menghilangkan ketentuan undang-undang yang mewajibkan pejabat yang bersangkutan untuk menunjuk penasihat hukum bagi  Pemohon  sebagaimana ditegaskan Pasal 56 ayat (1) KUHAP ;

 

Dari segi pendekatan formalistic legal thinking, ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP, sebagaimana dijelaskan dalam buku M. Yahya Harapah, SH, berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP hal. 327, Penerbit Sinar Grafika, Tahun 2000, menerangkan Pasal 56 ayat (1) KUHAP mengandung berbagai aspek permasalahan hukum yaitu :

 

Mengandung aspek nilai HAM, sesuai dengan deklarasi universal HAM yang menegaskan bahwa hadirnya Penasihat Hukum mendampingi Pemohon atau Pemohon merupakan nilai yang inheren pada diri manusia. Dengan demikian mengabaikan hak ini bertentangan dengan nilai HAM ;
Pemenuhan hak ini dalam proses peradilan pada semua tingkat pemeriksaan, menjadi kewajiban bagi pejabat yang bersangkutan, sehingga mengabaikan ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP ini mengakibatkan hasil pemeriksaan tidak syah dan batal demi hokum ;
Bahwa Pasal 56 ayat (1) KUHAP sebagai ketentuan yang bernilai HAM telah diangkat menjadi salah satu patokan MIRANDA RULE atau MIRANDA PRINCIPLE, yang menegaskan apabila pemeriksaan penyidikan, penuntutan, atau persidangan, Pemohon atau Pemohon tidak didampingi Penasihat Hukum, maka sesuai dengan MIRANDA RULE, pemeriksaan adalah tidak syah atau batal demi hukum (null and void) ;

 

Bahwa terhadap Berita Acara Pemeriksaan Pemohon sebagai tersangka yang dilaksanakan pada tanggal 12 Desember 2017, terdapat beberapa keterangan Pemohon yang kemudian dicabut oleh Pemohon, dimana hal ini telah dituangkan dalam berita acara rekontruksi, namun sampai dengan diajukannya permohonan ini, Pemohon belum menerima salinan berita acara rekontruksinya.

 

Bahwa terkait alasan pencabutan keterangan Pemohon dalam berita acara pemeriksaan Pemohon sebagai tersangka yang dilaksanakan pada tanggal 12 Desember 2017, Pemohon memohon agar yang mulia hakim yang memeriksa permohonan ini memerintakan Termohon agar  Pemohon prinsipal dihadirkan dalam sidang permohonan praperadilan guna menyampaikan alasannya.

 

TIDAK PERNAH ADA PENYELIDIKAN ATAS DIRI PEMOHON SESUAI DENGAN KETENTUAN HUKUM YANG BERLAKU

Bahwa sebagaimana diakui baik oleh Pemohon maupun Termohon, bahwa penetapan tersangka atas diri Pemohon baru diketahui oleh Pemohon berdasarkan surat perintah penangkapan oleh Termohon kepada Pemohon sebagaimana dokumen Surat Perintah Penangkapan Nomor SP. Kap/83/XII/2017/ Reskrim tertanggal 11 Desember 2017.
Bahwa apabila mengacu kepada surat tersebut, tidak pernah ada surat perintah penyelidikan kepada Pemohon, sehubungan yang menjadi dasar dikeluarkannya Surat Perintah Penangkapan terhadap Pemohon adalah sebagaimana termuat dalam surat tersebut yaitu selalin ketentuan KUHAP Pasal 17 ayat (1), huruf 4, Pasal 11, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Oasal 24 ayat (1) KUHAP, ketentuan UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, Laporan Polisi Nomor : LP/ B/461/XII/2017/JBR/RES.GRT 04 Desember 2017 atas nama pelapor DADI SUKARMAS juga mendasarkan pada adanya Surat Perintah Penyidikan Nomor : SP. Sidik/173/XII/2017/Reskrim tanggal 09 Desember 2017. Padahal sesuai Pasal 1 angka 1 dan 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Polisi memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan.
Bahwa hal itu senada dengan penyelidikan dan penyidikan, menurut Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 101), menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan penyidikan. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.
Lebih lanjut, Yahya Harahap menyatakan bahwa jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian tindak pengusutan sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.
Yahya Harahap (Ibid, hal. 102) juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan.
Dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat diatas, kegiatan penyelidikan dan penyidikan merupakan 2 hal yang tidak dapat berdiri sendiri dan dapat dipisahkan keduanya.
Bahwa yang menjadi pertanyaan Pemohon kapan Penyelidikan dilakukan oleh Termohon ? mengingat dalam dokumen penangkapan terhadap Pemohon tidak disebutkan dasar adanya penyelidikan, dan sebagaimana disampaikan oleh Termohon, bahwa Surat Perintah penyelidikan dikeluarkan pada tanggal 4 Desember 2017, bertepatan dengan saat adanya Laporan Polisi, sehingga dengan demikian tahapan Penyelidikan hanya dilakukan oleh Termohon  dalam kurun waktu 5 hari, sehubungan pada tanggal 9 Desember 2017, kemudian Termohon mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan, dan 2 hari sejak dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan, kemudian Termohon mengeluarkan Surat perintah Penangkapan, yaitu pada tanggal 11 Desember 2017.
Ketentuan Pasal 112 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan :

Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut;

Bahwa mengingat SP Penyidikan ke Penetapan Pemohon sebagai Tersangka hanya dilakukan 2 hari, maka dipastikan bahwa Termohon tidak melakukan pemanggilan secara syah terhadap para saksi mengingat pemanggilan haruslah dilakukan harus memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut.
Berkenaan dengan apa yang Pemohon uraikan dalam angka 7 di atas, maka Pemohon memiliki keraguan tentang dilakukannya penyelidikan atas diri Pemohon, mengingat dari keluarnya Surat Perintah Penyelidikan ke terbitnya Surat Perintah Penyidikan hanya berjarak 5 hari saja, maka dapat dikatakan penetapan tersangka dengan atau tanpat surat perintah penyelidikan dapat dikatakan tidak sah dan cacat hukum, untuk itu harus dibatalkan.

 

PEMOHON  DITETAPKAN SEBAGAI TERSANGKA,  TANPA TERLEBIH  DAHULU DIPANGGIL DAN DIPERIKSA SEBAGAI CALON TERSANGKA

Bahwa Pemohon ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 11 Desember 2017, bahwa sebelumnya Pemohon tidak pernah menerima panggilan dari Termohon melalui Surat Panggilan resmi, dan Pemohon pada tanggal 11 Desember 2017 hanya dipanggil oleh Termohon melalui adik ipar Pemohon yang kebetulan anggota kepolisian Polres Garut via telepon agar Pemohon datang Ke Polres Garut.
Bahwa kemudia pada tanggal 11 Desember 2017 pada saat sampai di kator Termohon, Pemohon langsung disediakan berkas / lembaran surat perintah penangkapan yang harus ditandatangani.
Bahwa kemudian pada tanggal 12 Desember  2017 pukul 02.00 WIB baru dilakukan pemeriksaan terhadap Pemohon dengan status selaku Tersangka, dan tidak pernah dilakukan pemeriksaan sebagai calon Tersangka.
Bahwa hal tersebut merupakan salah satu bentuk kesewenang-wenangan Termohon.

 

TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA

Bahwa Termohon dalam menetapkan tersangka dalam dugaan Pembunuhan dan Penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 subs Pasal 351 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Reskrim Kepolisiah Resort Garut kepada Pemohon tidak didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.
Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa Bukti Permulaan, Frasa Bukti Permulaan Yang Cukup dan Bukti Yang Cukup dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai minimal dua alat bukti sesuai dengan pasal 184 KUHAP.
Bahwa berdasar pada argument-argument sebelumnya, maka Pemohon ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan Pembunuhan dan Penganiyayaan yang mengakibatkan hilang nya nyawa, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 dan Pasal 351 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Kepolisian Resort Garut Reserse Kriminal kepada Pemohon, mengingat waktu penyidikan ke penetapan tersangka terhadap Pemohon hanya 2 hari, sehingga sangat tidak mungkin Penyidik memiliki minimal 2 alat bukti yang syah dengan cara-cara yang syah pula.
Bahwa apalagi tindakan peyitaan seperti terhadap Kendaraan yang digunakan oleh Pemohon dilakukan beberapa hari setelah Pemohon ditahan,
Demikian pula tindakan Termohon berupa proses otopsi terhadap jasad korban, baru dilakukan oleh Termohon pada tanggal 19 Desember 2017, atau 7 hari setelah Pemohon ditetapkan sebagai tersangka dan dilakukan penahanan.  Kalaulah proses otopsi merupakan tindakan penyidikan yang bertujuan mengumpulkan bukti, kenapa dilakukan setelah Pemohon ditetapkan sebagai tersangka dan dilakukan penahanan, karena semestinya Termohon mengumpulkan alat bukti terlebih dahulu, baru dilakukan tindakan penetapan sebagai tersangka. Bukan penetapan sebagai tersangka terlebih dahulu dan pengumpulan alat bukti belakangan.
Berdasar pada uraian diatas, maka tindakan Pemohon yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum.

 

PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM

Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.
Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama  dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu mengeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.
Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’
Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain. Menurut Sjachran Basah abus de droit (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).
Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :

– ditetapkan oleh pejabat yang berwenang

– dibuat sesuai prosedur; dan

– substansi yang sesuai dengan objek Keputusan

Bahwa sebagaiman telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penetapan tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku.

Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan A Quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut :

Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah
Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan

Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keuputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri Garut yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.

 

PETITUM

Berdasar pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Garut c.q Hakim Pengadilan Negeri Garut yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :

Menyatakan diterima permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;
Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka dengan dugaan Pembunuhan dan Penganiyayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 subs Pasal 351 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Termohon adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon, serta Menyatakan tidak sah segala tindakan berupa penangkapan, penahanan atas diri Pemohon, serta menyatakan tidak sah atas tindakan penyitaan yang dilakukan terhadap barang milik Pemohon;
Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon;
Memerintahkan kepada Termohon untuk segera mengeluarkan Pemohon dari tahanan Polres Garut, serta mengembalikan dalam keadaan semula barang-barang yang telah dilakukan penyitaan.
Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.

 

PEMOHON  sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Ketua Pengadilan Negeri Garut c.q Hakim Pengadilan Negeri Garut yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara aquo  dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.

 

Apabila Yang Terhormat Ketua Pengadilan Negeri Garut c.q Hakim Pengadilan Negeri Garut yang memeriksa Permohonan aquo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

 

Garut, 8  Februari 2018

Hormat kami,

Advokat / Penasehat Hukum Pada Kantor Hukum

BAMBANG IRAWAN, S.H. dan REKAN

 

 

BAMBANG IRAWAN, S.H.

Pihak Dipublikasikan Ya